teori pendekatan kepemimpinan

Dalam upaya melaksanakan kepemimpinan yang efektif, selain memiliki kemampuan dan keterampilan dalam kepemimpinan, seorang pemimpin sebaiknya menentukan gaya kepemimpinan yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi anggota kelompok. Banyak studi ilmiah yang dilakukan oleh banyak ahli mengenai kepemimpinan, dan hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan. Sehingga teori-teori yang muncul menunjukkan perbedaan. Menurut Kartini Kartono (1994:61) perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam; pendapat dan uraiannya, metodologinya, intepretasi yang diberikan dan kesimpulan yang ditarik.
Menurut M. Thoha (1994:250) mengungkapkan beberapa teori kepemimpinan yaitu:

1. Teori Sifat ( Trait Theory)
Pada pendekatan teori sifat, analisa ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Yaitu apakah sifat-siftat yang membuat seseorang itu sebagai pemimpin. Dalam teori sifat, penekanan lebih pada sifat-sifat umum yang dimilki pemimpin, yaitu sifat-sifat yang dibawa sejak lahir. Teori ini mendapat kritikan dari aliran perilaku yang menyatakan bahwa pemimpin dapat dicapai lewat pendidikan dan pengalaman.
Sehubungan dengan hal tersebut , Keith Davis (dalam Kartini Kartono, 1994:251) merumuskan empat sifat umum yang nampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan efektifitas
kepemimpinan yaitu:
  1. Kecerdasan, hasil penelitian pada umunya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin.
  2. Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.
  3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi, para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan
  4. penghargaan yang intrinsik dibandingkan dengan ekstrinsik.
  5. Sikap dan hub ungan kemanusiaan, pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kekuatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.

2. Teori Situasional dan Model Kontingensi.
Dalam model kontingensi memfokuskan pentingnya situasi dalam menetapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Sehingga model tersebut berdasarkan kepada situasi untuk efektifitas kepemimpinan. Menurut Fread Fiedler, kepemimpinan yang berhasil bergantung kepada penerapan gaya kepemimpinan terhadap situasi tertentu. Sehingga suatu gaya kepemimpinan akan efektif pabila gaya kepemimpinan tersebut digunakan dalam situasi yang tepat. Sehubungan dengan hal tersebut Fiedler (dalam Abi Sujak, 1990:10) mengelompokkan gaya kepemimpinan sebagai berikut:

a. Gaya kepemipinan yang berorientasi pada orang (hubungan).
Dalam gaya ini pemimpin akan mendapatkan kepuasan apabila terjadi hubungan yang mapan diantara sesama anggota kelompok dalam suatu pekerjaan. Pemimpin menekankan hubungan pemimpin degan bwahan atau anggota sebagai teman sekerja.

b. Gaya kepemimpinan yang beroreitasi pada tugas. Dalam gaya ini pemimpin akan merasa puas apabila mampu menyelesaikan tugas-tugas yang ada padanya. Sehingga tidak memperhatikan hubungan yang harmonis dengan bawahan atau anggota, tetapi lebih berorentasi pada pelaksanaan tugas sebagai prioritas yang utama.

3. Teori Jalan Kecil-Tujuan (Paht-Goal Theory)
Dalam teori Jalan Kecil-Tujuan berusaha untuk menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan pekerjaan bawahan atau angotanya. Berdasarkan hal tersebut, House (dalam M. Thoha, 1996:259) dalam Path-Goal Thery memasukkan empat gaya utama kepemimpinan sebagai berikut:

a. Kepemimpinan direktif.
Gaya ini menganggap bawahan tahu senyatanya apa yang diharpkan dari pimpinan dan pengarahan yang khusus diberikan oleh pimpinan. Dalam model ini tidak ada
partisipasi dari bawahan atau anggota.

b. Kepemimpinan yang mendukung.
Gaya ini pemimpin mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap
bawahan atau anggotanya.

c. Kepemimpinan partisipatif.
Gaya kepemimpinan ini, pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari para bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.

d. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi.
Gaya kepemimpinan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berprestasi. Demikian juga pemimpin memberikan keyakinan kepada mereka mampu melaksnakan tugas pekerjaan mencapai tujuan secara baik.

Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.
Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s).
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Crows Zero Film geng sekolah

Kebangkitan ekonomi korea selatan

Facebook ngechat / kirim pesan sendiri, virus bahaya.