Gaya Kepemimpinan(leadership)
Setiap pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya mempunyai cara dan gaya. Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang khas, sehingga tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Gaya hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya. Ada pemimpin yang keras dan represif, tidak persuasif, sehingga bawahan bekerja disertai rasa ketakutan, ada pula pemimpin yang bergaya lemah lembut dan biasanya disenangi oleh bawahan. Kegagalan atau keberhasilan yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas perkerjaannya menunjukkan kegagalan atau keberhasilan pemimpin itu sendiri.
Raph White dan Ronald Lippitt dalam Winardi (2000) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu gaya yang digunakan oleh seorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahan. Adapun gaya kepemimpinan tersebut adalah :
Gaya pemimpin yang otokratis yang didasarkan atas kekuatan pada tangan seseorang, gaya kepemimpinan demokratis hanya memberi perintah setelah mengadakan konsultasi terlebih dahulu dengan bawahan, gaya kepemimpinan laissez faire tidak pernah mengendalikan bawahaannya sepenuhnya.
Hasrey dan Balanchard mengembangkan konsep dasar gaya kepeminpinan situasional, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Memberitahukan (penugasan tinggi, hubungan rendah), gaya kepemimpinan yang sesuai apabila bawahan tidak mampu atau tidak mau memikul tanggung jawab untuk melaksanakan sesuatu. Pimpinan harus memerintahkan (komunikasi satu arah), bawahannya tentang bagaimana, kapan dan dimana tugas- tugas itu harus dikerjakan.
2. Menjual (penugasan tinggi, hubungan tinggi), merupakan kondisi bawahan pada tingkat kematangan rendah ke sedang, gaya kepemimpinan ini sesuai apabila bawahan tidak mampu tetapi mau untuk memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Dalam hal ini pimpinan harus bersikap memerintahkan, tetapi harus melalui dialog dua arah dan mendorong untuk melaksakan saran-saran bawahannya.
3. Mengikutsertakan (penugasan rendah, hubungan tinggi), merupakan kondisi bawahan pada tingkat kematangan sedang ke tinggi, gaya kepemimpinan ini sesuai apabila bawahan mampu tetapi tidak mau melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin. Ketidakmauan mereka karena kurang yakin atau merasa tidak aman. Dalam hal ini pimpinan bertindak sebagai fasilitator dan pelatih, dengan sedikit arahan dan melibatkan bawahan. Pemimpin mengikutsertakan bawahannya dalam berbagai tanggang jawab pengambilan keputusan, peran pimpinan dalam gaya ini adalah memudahkan dan berkomunikasi.
4. Mendegelasikan (penugasan rendah, hubungan rendah), merupan kondisi bawahan pada tingkat kematangan tinggi, gaya kepemimpinan ini sesuai apa bila bawahan mampu dan mau atau yakin untuk memikul tangung jawab. Keterlibatan pemimpin semakin kecil, lebih banyak mendegelegasikan wewenang dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas kepada bawahan. Bawahan diperkenankan sendiri melaksanakan pekerjaan dan memutuskan tentang bagaimana, bilamana dan di mana pelaksanaan pekerjaan itu. Peran pimpinan lebih banyak mengamati dan memantau dan boleh jadi dan mengidentifikasi masalah.
Pendekatan Kepemimpinan
Seorang pempimpin dengan kepemimpinannya mampu mempengaruhi, dan mengarahkan tingkah laku para pegawainya atau orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk menentukan persyaratan-persyaratan seseorang menjadi pemimpin, Scott dalam Kartono (2005), mengemukakan beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. The “ Great man” Approach (pendekatan orang besar).
Syarat ini menyatakan adanya kemampuan yang luar biasa dari seorang
pemimpin, sehingga dengan segenap kualitas unggulnya dia dapat membawa para pegawainya kepada sasaran yang ingin dicapai. Sipat-sipat utama pendekatan ini antara lain : inteligensi tinggi, kemampuan berkomunikasi, dan kepekaan terhadap iklim psikis kelompoknya.
2. The “ Trait Approach (pendekatan ciri atau sifat).
Syarat ini menyatakan ada sederetan atau sifat-sifat unggul, sehingga pemimpin dapat mempengaruhi pegawainya melakukan tugas–tugas tertentu sesuai dengan prinsip pembagian tugas.
3. The Modified Trait Approach (pendekatan ciri yang diubah)
Syarat ini menyatakan bahwa adanya sifat-sifat unggul itu dapat diubah, diganti secara luwes atau dibatasi sesuai dengan situasi dan kondisi.
4. The Situasional Approach (pendekatan situasioanal)
Syarat ini menyatakan bahwa sifat-sifat pemimpin bukanlah satu-satunya hal yang menentukan derajat dan kualitas pemimpin, melainkan situasi dan lingkunganlah merupakan faktor penentunya. Kemungkinan yang terjadi bahwa, seorang pemimpin, yang efisien pada saat sekarang ini, belum tentu mampu menjabat tugas kepemimpinan pada saat lain dengan kondisi-kondisi yang berbeda.
Studi tentang kepemimpinan bisa dikelompokkan menjadi 4 (empat) pendekatan. Fiedler dalam Nawawi (2003), menyatakan keempat teori kepemimpinan tersebut , yaitu :
Raph White dan Ronald Lippitt dalam Winardi (2000) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu gaya yang digunakan oleh seorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahan. Adapun gaya kepemimpinan tersebut adalah :
Gaya pemimpin yang otokratis yang didasarkan atas kekuatan pada tangan seseorang, gaya kepemimpinan demokratis hanya memberi perintah setelah mengadakan konsultasi terlebih dahulu dengan bawahan, gaya kepemimpinan laissez faire tidak pernah mengendalikan bawahaannya sepenuhnya.
Hasrey dan Balanchard mengembangkan konsep dasar gaya kepeminpinan situasional, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Memberitahukan (penugasan tinggi, hubungan rendah), gaya kepemimpinan yang sesuai apabila bawahan tidak mampu atau tidak mau memikul tanggung jawab untuk melaksanakan sesuatu. Pimpinan harus memerintahkan (komunikasi satu arah), bawahannya tentang bagaimana, kapan dan dimana tugas- tugas itu harus dikerjakan.
2. Menjual (penugasan tinggi, hubungan tinggi), merupakan kondisi bawahan pada tingkat kematangan rendah ke sedang, gaya kepemimpinan ini sesuai apabila bawahan tidak mampu tetapi mau untuk memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Dalam hal ini pimpinan harus bersikap memerintahkan, tetapi harus melalui dialog dua arah dan mendorong untuk melaksakan saran-saran bawahannya.
3. Mengikutsertakan (penugasan rendah, hubungan tinggi), merupakan kondisi bawahan pada tingkat kematangan sedang ke tinggi, gaya kepemimpinan ini sesuai apabila bawahan mampu tetapi tidak mau melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin. Ketidakmauan mereka karena kurang yakin atau merasa tidak aman. Dalam hal ini pimpinan bertindak sebagai fasilitator dan pelatih, dengan sedikit arahan dan melibatkan bawahan. Pemimpin mengikutsertakan bawahannya dalam berbagai tanggang jawab pengambilan keputusan, peran pimpinan dalam gaya ini adalah memudahkan dan berkomunikasi.
4. Mendegelasikan (penugasan rendah, hubungan rendah), merupan kondisi bawahan pada tingkat kematangan tinggi, gaya kepemimpinan ini sesuai apa bila bawahan mampu dan mau atau yakin untuk memikul tangung jawab. Keterlibatan pemimpin semakin kecil, lebih banyak mendegelegasikan wewenang dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas kepada bawahan. Bawahan diperkenankan sendiri melaksanakan pekerjaan dan memutuskan tentang bagaimana, bilamana dan di mana pelaksanaan pekerjaan itu. Peran pimpinan lebih banyak mengamati dan memantau dan boleh jadi dan mengidentifikasi masalah.
Pendekatan Kepemimpinan
Seorang pempimpin dengan kepemimpinannya mampu mempengaruhi, dan mengarahkan tingkah laku para pegawainya atau orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk menentukan persyaratan-persyaratan seseorang menjadi pemimpin, Scott dalam Kartono (2005), mengemukakan beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. The “ Great man” Approach (pendekatan orang besar).
Syarat ini menyatakan adanya kemampuan yang luar biasa dari seorang
pemimpin, sehingga dengan segenap kualitas unggulnya dia dapat membawa para pegawainya kepada sasaran yang ingin dicapai. Sipat-sipat utama pendekatan ini antara lain : inteligensi tinggi, kemampuan berkomunikasi, dan kepekaan terhadap iklim psikis kelompoknya.
2. The “ Trait Approach (pendekatan ciri atau sifat).
Syarat ini menyatakan ada sederetan atau sifat-sifat unggul, sehingga pemimpin dapat mempengaruhi pegawainya melakukan tugas–tugas tertentu sesuai dengan prinsip pembagian tugas.
3. The Modified Trait Approach (pendekatan ciri yang diubah)
Syarat ini menyatakan bahwa adanya sifat-sifat unggul itu dapat diubah, diganti secara luwes atau dibatasi sesuai dengan situasi dan kondisi.
4. The Situasional Approach (pendekatan situasioanal)
Syarat ini menyatakan bahwa sifat-sifat pemimpin bukanlah satu-satunya hal yang menentukan derajat dan kualitas pemimpin, melainkan situasi dan lingkunganlah merupakan faktor penentunya. Kemungkinan yang terjadi bahwa, seorang pemimpin, yang efisien pada saat sekarang ini, belum tentu mampu menjabat tugas kepemimpinan pada saat lain dengan kondisi-kondisi yang berbeda.
Studi tentang kepemimpinan bisa dikelompokkan menjadi 4 (empat) pendekatan. Fiedler dalam Nawawi (2003), menyatakan keempat teori kepemimpinan tersebut , yaitu :
1. Teori Great Man dan Teori Big Bang.
Teori ini megemukakan kepemimpinan merupakan bakat atau bawaan sejak seseoarang lahir dari kedua orang tuanya. Bennis dan Nanus dalam Nawawi (2003), menyatakan pemimpin dilahirkan bukan diciptakan. Teori ini melihat kekuasaan berada pada sejumlah orang tertentu, yang melalui proses pewarisan memiliki kemampuan memimpin atau karena keberuntungan memiliki bakat untuk menempati posisi sebagai pemimpin. Teori Big-Bag mengintegrasikan antara situasi dan pengikut anggota organisasi sebagai jalan yang dapat mengantarkan seseorang menjadi pemimpin. Situasi yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian besar seperti revolusi, kekacauan/kerusuhan, pemberontakan, reformasi dan lain-lain.
2. Teori Sifat atau Krakteristik Keperibadian.
Teori ini mengemukakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin apa bila memiliki sifat-sifat atau krakteristik kepribadian yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin, meskipun orang tuanya khususnya ayah bukan seorang pemimpin. Teori ini ini bertolak dari pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat/krakteristik keperibadian yang dimiliki.
3. Teori Perilaku.
Teori ini bertolak dari pemikiran bahwa kepemimpinan untuk mengefektifkan organisasi, tergantung pada perilaku atau gaya bersikap dan/atau gaya bertindak seorang pemimpin. Dengan demikian berarti juga teori uni juga memusatkan perhatiaannya pada fungsi-fungsi kepemimpinan. Dengan kata lain keberhasilan seorang pemimpin dalam mengefektifkan organisasi, sangat tergantung dari perilakunya dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan di dalam strategi kepemimpinannya.
4. Teori Kontingensi atau Teori Situasional.
Teori situasioanal dapat disimpulkan bahwa seseorang pemimpin yang efektif harus memperhatikan faktor-faktor situasional yang terdapat di dalam organisasi. Karena faktor-faktor situasi tersebut tidak selalu tetap, maka diperlukan kemampuan dari pemimpin untuk mengadaptasi kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Komentar
Posting Komentar
Apa pendapatmu mengenai ini?